Jumat, 12 Oktober 2012

Sebenarnya, kita ini sederhana...

Selalu hanya kamu yang mampu membuatku menulis lagi, berbagi, bercerita kembali. Lagi, hanya dengan sebaris nama akun sosial mediamu, kamu buat aku luluh lantak, hancur menjadi abstrak, membuat jantungku berdetak lebih cepat. Aku ditampar luka, diberondong kenangan yang datang bertubi-tubi. Sebenarnya, aku rindu...
 
Kamu pernah menjadi begitu berharga di mataku, menjadi satu yang selalu bersemayam di dalam kepalaku, yang enggan keluar walau sudah kupinta bahkan kumohon lagi dan lagi. Tapi itu dulu, dulu sebelum aku sadar kalau kita yang aku dan kamu perjuangkan hanya fana belaka.

Ada saatnya aku merasa lelah, Sayang. Lelah dengan semua harapan kosong yang kau lemparkan ke depan mukaku. Aku lelah kau terbangkan tinggi-tinggi hanya untuk kau hempaskan lagi ke tanah. Makanya aku memilih pergi. Lebih baik terpisahkan oleh jarak daripada dipisahkan oleh benci.

Aku pikir kita sudah selesai, aku pikir aku sudah bebas. Tapi aku salah. Ternyata, diam-diam kamu masih merantaiku lewat sepi. Kemarin kau hanya mengendorkan sedikit rantainya, jadi aku bisa pergi lebih jauh dan aku pikir aku sudah bebas, sudah merdeka. Ternyata, tidak. Tidak barang sejengkal. Sebenarnya aku hanya terjerembab lebih dalam lagi, aku hanya berputar masuk ke bui yang lebih sempit lagi. Kali ini jauh mencekam. Aku dicekam sepi, dingin, sesak dan kamu.

Mungkin, kita ini seperti dua ujung benang yang ruwet, yang saling mencari jalan keluar. Tanpa kita sadari kalau kita ini berada  pada garis yang sama, tidak bisa terpisah kecuali digunting. Kecuali kita saling menyakiti diri kita masing-masing, kecuali kita mengucapkan selamat tinggal pada bagian kita yang lain.

Atau mungkin, kita ini sesederhana Matahari dan Bulan. Sang Bulan butuh Matahari untuk memberikannya cahaya, sedangkan Matahari juga butuh Bulan untuk berbagi cahayanya.

Atau... 
Kita ini sesederhana aku yang masih belum sanggup melepas genggaman jemarimu?


Regards,
Rahma



Tidak ada komentar:

Posting Komentar