Jumat, 26 Oktober 2012

Aku masih pengecut

Terkadang, aku suka terdiam sambil menatap kosong layar laptop. Saat itu mungkin aku sedang mereka-reka apa yang masih tersisa untukmu di dalam hati. Seringkali, rinduku, sesalku, penatku, semuanya aku curahkan dalam bait-bait puisi. Namun, semakin lama terasa semakin sulit untuk melukiskannya lewat kata-kata.

Awalnya, ya, aku memang menangisimu setiap waktu. Bertanya-tanya pada dunia, pada Tuhan, di mana letak salahnya 'kita'. Tapi...selalu kamu. Selalu kamu yang buat aku percaya, kalau kita suatu saat akan menjadi kenyataan. Kalau kita, suatu saat tidak akan lagi menyalahkan keadaan, tidak akan lagi meratapi perpisahan.

Setiap kali, hanya namamu yang aku letakkan di dalam otakku, yang aku gemakan di dalam hati, yang aku simpan, yang aku jaga. Kalau orang bilang aku susah move on, ya sudah. Mungkin memang separuh dariku masih tertinggal di balik kenangan-kenangan yang dulu. Mungkin bayanganmu masih setia mengikuti, masih enggan untuk benar-benar melepasku, mungkin ia masih rindu betukar tatap denganku.

Kadang aku lelah, sampai kapan aku harus mengharapkan janji-janji kosongmu? Tapi sakitnya, sampai kinipun aku bahkan masih setia berharap walau aku harus terseok-seok mengejarmu. Aku lelah, tapi aku sudah terlanjur melangkah.

Sampai sekarangpun kita masih sama-sama jadi pengecut. Masih belum berani melawan ego. Masih sembunyi dalam gelap, dan perlahan saling membunuh rasa satu sama lain.

Aku rindu. Sudah, aku hanya ingin kamu tau itu saja.


Sabtu, 20 Oktober 2012

Aku lelah memberi makna, biar kata-kata ini merangkai sendiri menjadi judul

Kamu tau apa bagian tersulit dari melepaskanmu?
Menggantikanmu dengan orang lain untuk mengisi kosong yang kamu tinggalkan.
Kenapa baru sekarang, sakitnya terasa benar-benar menyayat hati?
Kenapa justru di saat aku perlahan mulai membuka hati untuk yang lain?
Kenapa justru aku merasa berkhianat?
Kenapa?
Padahal, toh kamu juga mungkin sudah lupa padaku.
Bahkan jejaring sosialmu, yang biasanya kau jadikan tempat curahan hatimu untukku.
Setelah sekian lama, kalimat-kalimat pertama yang kau ketikkan di sana, bukan untukku kan?
Lalu, sebenarnya apa yang aku khianati?
Bukan kita! Apalagi kamu!
Kenapa sekarang aku sakit?
Sakit seakan aku mencampakkanmu.
Padahal, harusnya sekarang aku sudah lupa.
Sudah hilang semuanya tentangmu.
Harusnya...


Jumat, 12 Oktober 2012

Memperjuangkanmu

Dan aku bertahan walau yang tersisa hanya secuil harapan yang menggantung rapuh, yang goyang terkena terpaan semilir angin.

Dan dari remahan harapan itu aku tetap teguh menggenggammu, berkeras tak ingin melepas.

Aku tau ini berat, tapi dari sisa-sisa harapan ini aku mencoba mengais keberuntungan, berharap masih ada keajaiban yang tersisa untukku.

Dari sisa-sisa harapan yang telah dibuang, dicampakkan oleh jiwa-jiwa yang menolak untuk percaya padanya, aku berharap masih ada sedikit yang tersisa lebih untukku.

Semoga ada, semoga masih ada kesempatan...

Sebenarnya, kita ini sederhana...

Selalu hanya kamu yang mampu membuatku menulis lagi, berbagi, bercerita kembali. Lagi, hanya dengan sebaris nama akun sosial mediamu, kamu buat aku luluh lantak, hancur menjadi abstrak, membuat jantungku berdetak lebih cepat. Aku ditampar luka, diberondong kenangan yang datang bertubi-tubi. Sebenarnya, aku rindu...
 
Kamu pernah menjadi begitu berharga di mataku, menjadi satu yang selalu bersemayam di dalam kepalaku, yang enggan keluar walau sudah kupinta bahkan kumohon lagi dan lagi. Tapi itu dulu, dulu sebelum aku sadar kalau kita yang aku dan kamu perjuangkan hanya fana belaka.

Ada saatnya aku merasa lelah, Sayang. Lelah dengan semua harapan kosong yang kau lemparkan ke depan mukaku. Aku lelah kau terbangkan tinggi-tinggi hanya untuk kau hempaskan lagi ke tanah. Makanya aku memilih pergi. Lebih baik terpisahkan oleh jarak daripada dipisahkan oleh benci.

Aku pikir kita sudah selesai, aku pikir aku sudah bebas. Tapi aku salah. Ternyata, diam-diam kamu masih merantaiku lewat sepi. Kemarin kau hanya mengendorkan sedikit rantainya, jadi aku bisa pergi lebih jauh dan aku pikir aku sudah bebas, sudah merdeka. Ternyata, tidak. Tidak barang sejengkal. Sebenarnya aku hanya terjerembab lebih dalam lagi, aku hanya berputar masuk ke bui yang lebih sempit lagi. Kali ini jauh mencekam. Aku dicekam sepi, dingin, sesak dan kamu.

Mungkin, kita ini seperti dua ujung benang yang ruwet, yang saling mencari jalan keluar. Tanpa kita sadari kalau kita ini berada  pada garis yang sama, tidak bisa terpisah kecuali digunting. Kecuali kita saling menyakiti diri kita masing-masing, kecuali kita mengucapkan selamat tinggal pada bagian kita yang lain.

Atau mungkin, kita ini sesederhana Matahari dan Bulan. Sang Bulan butuh Matahari untuk memberikannya cahaya, sedangkan Matahari juga butuh Bulan untuk berbagi cahayanya.

Atau... 
Kita ini sesederhana aku yang masih belum sanggup melepas genggaman jemarimu?


Regards,
Rahma