Senin, 27 Agustus 2012

Singkat

"Kayla!" kudengar seseorang memanggil namaku.

Ah, aku hafal benar suaramu yang renyah ini, tanpa menolehpun sebenarnya aku tahu siapa pemilik suara ini. Seharusnya aku mengacuhkanmu saja, bahkan lari darimu kalau perlu. Tapi apa daya, rindu yang menggebu memaksaku untuk berhenti dan berbalik, hanya untuk mendapati wajahmu berada tepat di hadapanku, berjarak hanya beberapa meter dari wajahku. Aku tidak pernah berharap kamu akan menjadi orang pertama yang kutemui di Surabaya. Kamu hanya membuat semuanya semakin sulit, Rio... 

"Hai, apa kabar? Kamu kurusan Kay..." kamu tersenyum. Ah, pada siapa senyummu itu kau tujukan, Rio? Untukku atau untuk tahun-tahun yang telah kita lewati bersama, berdua?

"Hai, I'm fine. Kamu gimana? Bagaimana kamu tau aku akan datang hari ini?" aku tersenyum. Kaku. 
Kualihkan pandanganku ke sekitar, ke orang-orang yang sedang berlalu lalang, menyeret koper mereka masing-masing. Harus menatapmu lagi setelah sekian lama membuatku merasa tidak nyaman. Terlebih setelah apa yang kulakukan selama ini, yang mungkin akan menggoreskan luka di hatimu dan merobek lembaran kenangan kita, Rio.

"Yah, sepi. Kosong, hampa, it's not the same anymore without you here," kamu tersenyum lagi. Tapi kali ini lebih lebar dan aku bisa menangkap kilatan jahil di matamu.

"Ah, kamu gombal,"

"Begitu menurutmu?"

"Ya, menurutku begitu," aku tertawa.

Tapi sepertinya kamu benar-benar serius, kamu memandangiku begitu lekat. Aku merasa seperti sedang ditelenjangi oleh tatapanmu. Aku takut kamu akan tau. Tau kalau aku sedang menyembunyikan sesuatu darimu.

"Kamu belum jawab pertanyaanku, darimana kamu tau aku akan datang hari ini?"

"Mamamu yang menelponku 2 hari yang lalu dan memintaku menjemputmu ke bandara," kamu tersenyum lagi. Aku menangkap sesuatu dalam senyummu kali ini, sesuatu yang berbeda dari sebelumnya.

"Oh, baiklah kalau begitu," aku kehabisan kata.

"Kamu kecewa kalau aku yang menjemputmu hari ini?" kamu memicingkan matamu dan tersenyum jahil padaku. Aku melemparkan senyum sebagai jawaban dari pertanyaanmu. Kuraih koperku kembali, menariknya menjauh, tidak menyadari kau yang sedang menatapku pilu.

"Jangan meninggalkanku seperti itu," kau tiba-tiba berada di sampingku, menjajarkan langkahmu dengan langkahku. Kakimu yang panjang membuatmu begitu mudah mengambil langkah yang lebih besar untuk mengejarku.

"Aku tidak mau menghabiskan waktu kepulanganku ke Surabaya yang sangat berharga ini hanya untuk bercanda di bandara bersamamu."

"HAHAHAHAHA..." kau tergelak, beberapa orang di sekitar kita serentak menoleh dengan tatapan heran. Aku spontan menatapmu tajam, malu menjadi tontonan orang. Kau masih juga tidak bisa menghentikan tawamu, "maaf...maaf....hahahaha..." setetes air bening keluar dari matamu, reaksi tubuhmu saat kau tertawa terpingkal-pingkal. Kebiasaanmu yang ternyata masih sama seperti dulu.

"Ayolah, apa yang lucu, Rio?"

"Kamu, kamu yang lucu Kayla. Kalimat-kalimat sarkasmu itu selalu bisa membuatku tertawa. Tawa-tawa seperti inilah yang selalu mengisi hidupku selama bertahun-tahun. Saat kamu memutuskan untuk pindah ke Jakarta, kamu juga membawa seluruh tawa itu bersamamu."

Aku tertegun. Itukah yang selama ini ada di pikiranmu? Itukah yang
selama ini kamu rasakan, Rio?

"Sudahlah, tunjukkan di mana mobilmu," aku mengalihkan pembicaraan, tak ingin terlihat canggung di depanmu.

Kamu menggiringku ke tempat parkir, menunjukkan letak Pajero hitammu terparkir, membukakan pintu, memasukkan koperku ke bagasi lalu segera duduk di kursi supir. Semuanya kau lakukan dengan tanggap dan tanpa suara. Cekatan, masih seperti dulu.

Aku dan kamu duduk bersisian di dalam sebuah Pajero hitam menembus padatnya jalanan Surabaya. Bagai oksigen, sunyi memenuhi bagian dalam mobil, menyelimuti aku dan kamu. Kita terlalu sibik untuk memedulikan hening, aku dan kamu terlalu sibuk menata hati masing-masing.

"Aku tidak menyangka kau akan datang," ujarku, lirih.

"Aku pun begitu," kau tersenyum jahil, membuatku sadar kau tidak benar-benar menjawabku.

"Sudah berapa lama tadi kau menungguku?"

Kembali hening sejenak, "4 tahun, Kayla."

Aku lagi-lagi tertegun. Bukan itu maksud pertanyaanku. Aku tau kau tau benar apa maksud pertanyaanku tadi.

"Jangan ungkit lagi apa yang sudah berlalu, Rio," aku mengambil handphoneku dari dalam tas untuk mengalihkan kecanggunganku. Aku tak berani menatap wajahmu, tak berani melihat reaksimu.

"Kamu sudah membuang semuanya? Kamu membuangku, Kay?" kamu memperlambat laju mobil. Beberapa ratus meter lagi perjalanan ini akan berakhir.

"Kamu yang terlebih dulu membuangku, Rio. Kamu tidak tahan dengan hubungan jarak jauh, itu alasanmu saat memutuskan hubungan kita, kan?"

Mobil menepi, berhenti di pinggir jalan di bawah sebuah pohon rindang. Aku menoleh ke arahmu sekilas, tapi kamu sudah menatapku terlebih dahulu, "aku rindu kita, Kayla."

Aku tak menyangka kamu akan mengatakan itu. Sebenarnya itu terdengar manis di telingaku. Tapi, entah mengapa hatiku terasa sakit di saat yang bersamaan, "kamu rindu kita, Rio, bukan aku."

Kali ini kamu yang terkejut. Kamu terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya berkata, "aku tau. Aku tau aku salah. Maafkan aku, Kayla."

Kemudian kita saling menatap satu sama lain, ada kata yang harus disampaikan, tapi terganjal di tenggorokan. Ada rindu yang harus dipadamkan, namun tak ada dari kita yang berani untuk memulai. Sementara air mata jatuh di pipiku, kamu bertahan untuk tidak mendekapku.

"Ada yang harus aku katakan, Rio," air mataku mengalir lebih deras lagi. Dan aku tau kamu sedang berusaha keras menahan diri untuk tidak menyeka air mataku dan menguburku dalam pelukanmu.

"Kalau itu tentang kita, tentang masa lalu, sudahlah, lupakan, Kayla..."

"Ucapkan lagi," ujarku refleks, tak mengacuhkan apa yang baru saja kau ucapkan.

"Apa?" kau menatapku, bingung. Aku suka wajah bingungmu ini, manis. Entah sudah berapa lama 
aku tak melihatmu seperti ini.

"Ucapkan namaku lagi, aku suka mendengarmu mengucapkannya."

Kau tertawa, "aku juga rindu memanggil namamu seperti ini, Kayla,"

"Lagi," tangisku berhenti, tergantikan oleh tawa. Walaupun entah mengapa ada bagian hatiku yang terasa sakit. Tidak, aku tidak berkhianat, aku meyakinkan diri sendiri.

"Kayla, Kayla, Kayla, Kayla, Kayla," wajahmu semakin dekat denganku, aku tau aku seharusnya menghentikanmu, tapi sebagian dari diriku menolak untuk bergerak, "Kayla..." kamu berbisik di telingaku. Sekilas kamu menempelkan bibirmu di leherku, lalu kamu kembali ke posisi semula,mobil kembali dijalankan.

Aku masih terjebak dalam adegan tadi. Otakku tak bisa mencerna apa yang baru saja terjadi, "kita sudah sampai," suaramu membawaku kembali dari imajinasiku.

Mobilmu sudah terparkir persis di depan pagar rumahku, "aku pikir kamu akan menciumku," kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku. Kusesali itu sedetik kemudian.

Kamu menahan tawa, lalu meraih sebelah tanganku, sebuah cincin melingkar di jari manisku, "Maksudmu? Kamu mau aku jadi selingkuhanmu, Sayang?" kutangkap pertanyaanmu itu lebih sebagai sindiran, bukan tawaran.

Mataku panas. Dadaku sesak. Mukaku merah menahan malu. Seluruh tubuhku kaku. Hatiku serasa ditumbuk-tumbuk, dipukuli sana-sini hingga lebam. Sakit. Perih.

"Kamu...tau aku...sudah...menikah?" aku bertanya padamu sambil terisak. Aku tak dapat membendung tangisku lagi.

"Ya, kamu bahkan tidak berusaha menyembunyikan cincin pernikahanmu," kamu tersenyum padaku, membuat air mataku mengalir lebih deras lagi.

"Maaf, seandainya aku bertemu denganmu lebih cepat..." kamu menempelkan jari telunjukmu di bibirku.

"Mamamu tidak pernah menyuruhku untuk menjemputmu, aku datang sendiri dan aku tau kau sudah menikah," kamu membuka dashboard mobil, mengambil sebuah gulungan dan menyerahkannya padaku.

"Apa...ini?" tanyaku masih setengah terisak.

"Undangan pernikahanku," kamu terdiam sejenak menanti reaksiku. Melihatku tak bersuara, kau menjelaskan, "minggu depan aku akan menikah, datanglah bersama suamimu ya."

Aku terhenyak. Perasaanku campur aduk, tak ada satu katapun yang bisa keluar dari mulutku. Aku lega Rio sudah menemukan penggantiku, sama seperti aku menemukan suamiku. Tapi, aku tidak rela jika harus melihatnya duduk di pelaminan dengan wanita lain. Membayangkannya saja membuatku mual.

"Kau harus berjanji akan datang."

Aku menatapmu dalam, "jangan memaksaku berjanji untuk apa yang tidak bisa kutepati," aku berusaha tersenyum, tapi malah air mata yang jatuh.

Kau menyeka air mataku, "seandainya waktu bisa dibekukan, Kay..."

"Ya, seandainya kita bisa bertemu lebih cepat, Rio," aku tersenyum.

"Ya, seandainya."

Kau membukakan pintu mobil untukku, menuntunku turun, mengambilkan koperku dan melepasku dengan senyuman, "Be happy, Kayla..."

"You too, Rio. Selamat tinggal," ucapku lirih, hampir tak terdengar.

Mesin mobilmu menderu-deru seakan ingin ikut menyampaikan salam perpisahan. Walau kabur oleh air mata, tapi aku masih bisa melihat mobilmu berlalu meninggalkanku. Sama seperti kita yang sedang berjalan meninggalkan masa lalu.

Jadi, inilah akhir kisah kita, Rio?

Semakin mobilmu hilang di ujung jalan, semakin aku sadar, kisah kita sudah berakhir, Rio.

Kali ini benar-benar berakhir.

***END***

 "Terkadang hanya dibutuhkan sebuah pertemuan singkat untuk mengakhiri sebuah penantian panjang"


240812,

Regards,
Rahma

Lie to me

Don't need to apologize,

I won't hear you

Don't need to explain anything,
your words are meaningless

Don't need to sing me the lullaby,
the tones are even worse

Just whisper in my ears,
and lie to me,
say that you love me

Then, I'll be okay.

Rabu, 22 Agustus 2012

Aku, untukmu.


Aku bisa mati
kalau tiap hari terus begini,
menggantung mimpi pada imaji.

Aku lelah harus menahan diri,
aku bosan berdiri sendiri,
tenggelam dalam benci,
berkawan sepi.

Aku juga ingin saling berbagi kasih
tapi aku tak ingin sembunyi.

Aku mau yang bebas lepas seperti merpati,
tidak perlu ada pagar yang membatasi,
tidak perlu ada tembok yang menghalangi.

Aku mau kita, 
tidak perlu kita yang abadi,
hanya kita yang sejati
dan aku mau kamu,
aku mau kamu yang akan selalu kembali .

200612
  
Salam,
aku.

Minggu, 12 Agustus 2012

Listen to me, would you?

Ada jutaan kata yang berkecamuk di dalam kepalaku yang ingin aku muntahkan di hadapanmu

Apa yang aku rasa saat mata kita saling bertatap, saat kamu memandangku lekat

Juga bagaimana separuh dariku ikut terbawa bersamamu, saat kita dipisahkan jarak

Aku juga ingin bercerita bagaimana sepinya hari-hariku tanpa tawamu

Dan betapa matinya otakku tanpa kamu sebagai inspiratorku

Belum lagi betapa membosankannya lagu-lagu yang kudendangkan

Tanpa ada kamu di sampingku untuk ikut bernyanyi bersama

Dan bagaimana semua itu terbayar saat akhirnya kita bisa bertemu, saling membunuh rindu

Banyak hal yang ingin kubagi bersamamu

Banyak mimpi yang ingin kubangun denganmu

Hanya kalau kamu bersedia memberi celah sedikit saja untuk kehadiranku

Kalau kamu bersedia menemukanku dalam lembaran-lembaran gelap, tempatku bersembunyi

Kalau kamu bersedia menarikku keluar dan membawaku ke tempatmu yang penuh cahaya

Karena aku terlalu pengecut bahkan hanya untuk sekedar menyapamu walau dalam bingar