Minggu, 13 Juli 2014

Ikhlas, katanya...

Aku termenung menyaksikan gelembung-gelembung sabun beterbangan tertiup angin. Seorang wanita paruh baya dengan cekatan mengayun-ngayunkan sebuah tongkat kayu yang berulang kali dicelupkan ke dalam sebuah wadah kecil berisi air sabun. Setiap ayunan tangannya membuahkan gelembung-gelembung sabun yang beterbangan mengikuti angin. Gerakannya semakin lama semakin pelan, aku tertegun. Tidakkah lelah yang ia rasakan? Berdiri di tengah-tengah kerumunan ramai pengunjung taman yang berlalu lalang, bermodalkan tongkat kayu panjang dan seember kecil air sabun, ia mencoba mengais rupiah. Raut mukanya menggambarkan letih, namun tangannya tak berhenti mengayun, menciptakan gelembung-gelembung bening yang beterbangan kesana kemari. Anak-anak kecil berlarian mengitarinya, mengejar gelembung-gelembung sabun yang ia terbangkan. Ia tak terlihat terganggu, tak juga marah. Walaupun, mereka hanya berlari-lari di sekelilingnya tanpa membeli dagangannya. Terlebih, seutas senyum tergurat di bibirnya. Ah... mungkin ia teringat anaknya di kampung, batinku.

Betapa dari hal seperti itu kita belajar, keikhlasan bukanlah ketika kau menyumbangkan berlembar-lembar rupiah yang kau miliki untuk diberikan kepada pengungsi bencana alam lalu kau ongkang-ongkang kaki di dalam kamar ber-ACmu sembari namamu ditulis besar-besar di headline koran-koran Ibu Kota, keikhlasan bukanlah ketika kau berkoar-koar ke wartawan infotainment bahwa kau mengundang ratusan anak yatim untuk makan bersama di hajatanmu. Bukan, kadang keikhlasan itu hanyalah sesosok Ibu-ibu penjual gelembung sabun di taman kota yang acap kali kau abaikan keberadaannya....

Regards,
Rahma